Review Ghost In The Shell 2017: Lagi-Lagi Adaptasi Tanggung
Anna Muttaqien View: 2859Film Ghost In The Shell 2017 sudah panen kritik sejak casting-nya diumumkan. Pemilihan Scarlett Johannson untuk memerankan sang "Major" yang semestinya beretnis Jepang menjadi bahan perbincangan di Barat sebagai salah satu contoh whitewashing yang memalukan. Di Jepang sendiri, isu ini justru nyaris diabaikan dengan anggapan wajar bila tokohnya berkulit putih, karena ini adalah film live action adaptasi Hollywood.
Terlepas dari kontroversi itu, bagaimana sebenarnya kualitas film garapan Rupert Sanders ini?
Penggambaran Kota Futuristik Yang Sangat Realistis
Secara pribadi, saya sudah menonton seri aslinya. Anime dan film animasi Ghost In The Shell komplit, baik Stand Alone Complex (2002-2003), 2nd GIG (2004-2005), Ghost in the Shell (1995), hingga Innocence (2004), dan remake terbarunya, Arise (2015).
Persamaan diantara semua produk franchise tersebut adalah visual kota futuristik yang memikat, sekaligus realistis. Hal serupa diekspresikan oleh film Ghost In The Shell 2017, biarpun kota-nya tak sebersih Tokyo, melainkan lebih mirip Hong Kong di masa depan. Sungguh tak mengecewakan, sesuai dengan image dalam video trailer-nya. Sebanding juga dengan budget-nya yang bombastis.
Ditonton di studio 3D, kita seolah dibawa masuk ke perwujudan paradoks kota negara dunia ketiga dalam satu atau dua dekade mendatang. Hologram iklan dan himbauan menonjol dari gedung-gedung, tetapi masih saja ada tumpukan sampah di pojokan. Gadis penghibur kelas atas sudah digantikan robot, tetapi masih saja ada kupu-kupu malam di tepi jalan.
Keragaman karakter di dalamnya pun patut diberi aplaus. Meski dituduh kental dengan unsur whitewashing, tetapi dalam film ini tetap memuat karakter dari beragam warna kulit, bermacam-macam ras, berbagai agama.
Well, sayangnya, sisi positif film Ghost In The Shell 2017 ini ya sebatas itu saja. Setidaknya, di mata seseorang yang sudah menyaksikan seri asli, seperti saya. Walaupun barangkali, bagi penonton baru akan lebih enjoyable.
Sang Major Dirombak Habis-Habisan
Masalah utama dalam film Ghost In The Shell 2017 adalah karakter utama yang dirombak habis-habisan. Atau malah boleh dikatakan ganti sama sekali. Sang "Major" yang dalam seri asli bernama Motoko Kusanagi diubah jadi bernama Mira Killian (I see what you did there!). Biarpun kemudian terungkap bahwa itu bukan nama aslinya, tetapi hingga akhir, nama belakangnya tak disebutkan.
Tak cukup namanya diganti. Ia juga diberi latar belakang baru dan personality berbeda. Sang Major dalam film ini dua kali lipat lebih emosional dan impulsif daripada Motoko Kusanagi (yang asli).
Biarpun adegannya super keren, tapi karena karakter utama dibongkar total, maka ini jadi seperti sebuah seri berbeda.
Jadi, jika ada yang menanyakan apakah Scar-Jo kelihatan awkward dalam memerankan Major yang semestinya beretnis Jepang dalam film Ghost In The Shell 2017, hampir pasti jawabannya tidak ada masalah. Lha wong karakter ini malah disesuaikan dengan profil Scar-Jo sendiri, bukannya dia yang harus menyelaraskan dengan karakternya.
Di sisi lain, Pilou Asbaek sebagai Batou dan Beat Takeshi sebagai Aramaki justru memunculkan personality karakter yang lebih keren dan sebanding dengan posisi mereka di seri asli.
Plot Berubah Jadi Roman Picisan
Tanpa bermaksud memberikan spoiler. Jika Anda sudah menebak bahwa film Ghost In The Shell 2017 ini bakal menghadirkan dumbed-down plot dari seri asli, maka Anda tak keliru.
Salah satu keunggulan Ghost In The Shell (asli) adalah berbagai konflik dan sudut pandang di dalamnya, yang mana kita takkan bisa mendapatkan jawaban tegas mengenainya. Ada politisi yang memanfaatkan sudut mati teknologi untuk kepentingannya sendiri. Ada kemajuan teknologi yang nyata meningkatkan kesejahteraan manusia. Ada penjahat yang menyalahgunakan data. Ada manusia yang lama-lama semakin "menjadi robot" karena transplantasi sibernetik seperti Batou. Ada manusia yang mati-matian mempertahankan "kemanusiaannya" seperti Togusa. Ada karakter robot yang lama-lama makin "manusiawi" seperti Tachikoma. Dan lain sebagainya.
Semua kompleksitas itu absen dalam film Ghost In The Shell 2017. Justru, menjelang akhir, muncul adegan yang mengingatkan saya pada roman picisan Romeo and Juliet. Tak cukup itu saja, karakter ikonik Tachikoma malah dijadikan boneka pembunuh yang dikendalikan tokoh antagonis.
So, Apakah Ini Film Yang Jelek?
Saya tak bisa mengatakannya jelek; karena meski merasa terganggu sepanjang film, tetapi pada akhirnya tetap bisa merasa enjoy. Hanya saja, film ini tak bisa disebut bagus.
Tanpa membandingkannya dengan seri asli pun, cuma bisa melabelinya mediocre. Terlepas dari setting yang luar biasa, jalan ceritanya klise, sedangkan teknik sinematografi dan tata suara-nya tidak stabil. Meski kualitas visual bagus, tetapi pengambilan sudut pandang kamera tidak stabil dan transisi kurang smooth di banyak titik.
Story: 5/10
Art: 8/10
Sound: 7/10
Character: 5/10
Feel: 5/10
Overall Score: 6/10